Rabu, 04 Mei 2011

pentingnya rasa patriotisme dan bela negara

Era reformasi membawa banyak perubahan di hampir segala bidang di
Republik Indonesia. Ada perubahan yang positif dan bermanfaat bagi
masyarakat, tapi tampaknya ada juga yang negatif dan pada gilirannya akan
merugikan bagi keutuhan wilayah dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Suasana keterbukaan pasca pemerintahan Orde Baru menyebabkan arus
informasi dari segala penjuru dunia seolah tidak terbendung. Berbagai
ideologi, mulai dari ekstrim kiri sampai ke ekstrim kanan, menarik perhatian
bangsa kita, khususnya generasi muda, untuk dipelajari, dipahami dan
diterapkan dalam upaya mencari jati diri bangsa setelah selama lebih dari 30
tahun merasa terbelenggu oleh sistem pemerintahan yang otoriter.

Salah satu dampak buruk dari reformasi adalah memudarnya semangat
nasionalisme dan kecintaan pada negara. Perbedaan pendapat antar golongan
atau ketidaksetujuan dengan kebijakan pemerintah adalah suatu hal yang wajar
dalam suatu sistem politik yang demokratis. Namun berbagai tindakan anarkis,
konflik SARA dan separatisme yang sering terjadi dengan mengatas namakan
demokrasi menimbulkan kesan bahwa tidak ada lagi semangat kebersamaan
sebagai suatu bangsa. Kepentingan kelompok, bahkan kepentingan pribadi,
telah menjadi tujuan utama. Semangat untuk membela negara seolah telah
memudar.

Bela Negara biasanya selalu dikaitkan dengan militer atau militerisme,
seolah-olah kewajiban dan tanggung jawab untuk membela negara hanya terletak
pada Tentara Nasional Indonesia. Padahal berdasarkan Pasal 30 UUD 1945, bela
negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara Republik Indonesia.
Bela negara adalah upaya setiap warga negara untuk mempertahankan Republik
Indonesia terhadap ancaman baik dari luar maupun dalam negeri.

UU no 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara RI mengatur tata cara
penyelenggaraan pertahanan negara yang dilakukan oleh Tentara Nasional
Indonesia (TNI) maupun oleh seluruh komponen bangsa. Upaya melibatkan
seluruh komponen bangsa dalam penyelenggaraan pertahanan negara itu antara
lain dilakukan melalui Pendidikan Pendahuluan Bela Negara. Di dalam masa
transisi menuju masyarakat madani sesuai tuntutan reformasi, tentu timbul
pertanyaan apakah Pendidikan Pendahuluan Bela Negara masih relevan dan masih
dibutuhkan. Makalah ini akan mencoba membahas tentang relevansi Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara di era reformasi dan dalam rangka menghadapi era
globalisasi abad ke 21.

Hakekat Ancaman Terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia

Ancaman Dari Luar
Dengan berakhirnya Perang Dingin pada awal tahun 1990an, maka
ketegangan regional di dunia umumnya, dan di kawasan Asia Tenggara khususnya
dapat dikatakan berkurang. Meskipun masih terdapat potensi konflik khususnya
di wilayah Laut Cina Selatan, misalnya sengketa Kepulauan Spratly yang
melibatkan beberapa negara di kawasan ini, masalah Timor Timur yang
menyebabkan ketegangan antara Indonesia dan Australia, dan sengketa Pulau
Sipadan/Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, namun diperkirakan semua
pihak yang terkait tidak akan menyelesaikan masalah tersebut melalui
kekerasan bersenjata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam jangka
waktu pendek ancaman dalam bentuk agresi dari luar relatif kecil. Potensi
ancaman dari luar tampaknya akan lebih berbentuk upaya menghancurkan moral
dan budaya bangsa melalui disinformasi, propaganda, peredaran narkotika dan
obat-obat terlarang, film-film porno atau berbagai kegiatan kebudayaan asing
yang mempengaruhi bangsa Indonesia terutama generasi muda, yang pada
gilirannya dapat merusak budaya bangsa. Potensi ancaman dari luar lainnya
adalah dalam bentuk "penjarahan" sumber daya alam Indonesia melalui
eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkontrol yang pada gilirannya
dapat merusak lingkungan atau pembagian hasil yang tidak seimbang baik yang
dilakukan secara "legal" maupun yang dilakukan melalui kolusi dengan pejabat
pemerintah terkait sehingga meyebabkan kerugian bagi negara.

Semua potensi ancaman tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan
Ketahanan Nasional melalui berbagai cara, antara lain:
a. Pembekalan mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat menangkal
pengaruh- pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma-norma
kehidupan bangsa Indonesia
b. Upaya peningkatan perasaan cinta tanah air (patriotisme) melalui
pemahaman dan penghayatan (bukan sekedar penghafalan) sejarah perjuangan bangsa.
c. Pengawasan yang ketat terhadap eksploitasi sumber daya alam nasional
serta terciptanya suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa (legitimate, bebas KKN,
dan konsisten melaksanakan peraturan/undang-undang).
d. Kegiatan-kegiatan lain yang bersifat kecintaan terhadap tanah air serta
menanamkan semangat juang untuk membela negara, bangsa dan tanah air serta
mempertahankan PancaSila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai
landasan berbangsa dan bernegara.
e. Untuk menghadapi potensi agresi bersenjata dari luar, meskipun
kemungkinannya relatif sangat kecil, selain menggunakan unsur kekuatan TNI,
tentu saja dapat menggunakan unsur Rakyat Terlatih (Ratih) sesuai dengan doktrin Sistem Pertahanan Semesta.

Dengan doktrin Ketahanan Nasional itu, diharapkan bangsa Indonesia mampu
mengidentifikasi berbagai masalah nasional termasuk ancaman, gangguan,
hambatan dan tantangan terhadap keamanan negara guna menentukan langkah
atau tindakan untuk menghadapinya.

Ancaman Dari Dalam
Meskipun tokoh-tokoh LSM banyak yang menyatakan hal ini sebagai sesuatu
yang mengada-ada, pada kenyataannya potensi ancaman yang dihadapi negara
Republik Indonesia tampaknya akan lebih banyak muncul dari dalam negeri,
antara lain dalam bentuk:
a. disintegrasi bangsa, melalui gerakan-gerakan separatis berdasarkan
sentimen kesukuan atau pemberontakan akibat ketidakpuasan daerah terhadap
kebijakan pemerintah pusat
b. keresahan sosial akibat ketimpangan kebijakan ekonomi dan pelanggaran Hak
Azasi Manusia yang pada gilirannya dapat menyebabkan huru-hara/kerusuhan massa
c. upaya penggantian ideologi Panca Sila dengan ideologi lain yang ekstrim
atau yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat perjuangan bangsa Indonesia
d. potensi konflik antar kelompok/golongan baik akibat perbedaan pendapat
dalam masalah politik, maupun akibat masalah SARA
e. makar atau penggulingan pemerintah yang sah dan konstitusional

Di masa transisi ke arah demokratisasi sesuai dengan tuntutan reformasi
saat ini, potensi konflik antar kelompok/golongan dalam masyarakat sangatlah
besar. Perbedaan pendapat yang justru adalah esensi dari demokrasi malah
merupakan potensi konflik yang serius apabila salah satu pihak berkeras
dalam mempertahankan pendiriannya sementara pihak yang lain berkeras
memaksakan kehendaknya. Dalam hal ini, sebenarnya cara yang terbaik untuk
mengatasi perbedaan pendapat adalah musyawarah untuk mufakat. Namun cara
yang sesungguhnya merupakan ciri khas budaya bangsa Indonesia itu tampaknya
sudah dianggap kuno atau tidak sesuai lagi di era reformasi ini.

Masalahnya, cara pengambilan suara terbanyakpun (yang dianggap sebagai cara
yang paling demokratis dalam menyelesaikan perbedaan pendapat) seringkali
menimbulkan rasa tidak puas bagi pihak yang "kalah", sehingga mereka
memilih cara pengerahan massa atau melakukan tindak kekerasan untuk
memaksakan kehendaknya.

Tidak adanya kesadaran hukum di sebagian kalangan masyarakat serta
ketidak pastian hukum akibat campur tangan pemerintah dalam sistem peradilan
juga merupakan potensi ancaman bagi keamanan dalam negeri. Apalagi di masa
transisi saat ini ada kelompok/golongan yang secara terbuka menyatakan tidak
mengakui Peraturan/perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah transisi
yang berkuasa saat ini. Pelecehan terhadap hukum/undang-undang ini jelas
menimbulkan kekacauan/anarki dan merupakan potensi konflik yang serius.
Contoh yang paling nyata adalah insiden Semanggi di mana para pengunjuk rasa
yang jelas-jelas tidak mematuhi UU no 9/1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum akhirnya bentrok dengan aparat keamanan
yang justru ingin menegakkan hukum. Terlepas dari berbagai faktor psikologis dan
politis yang memicu terjadinya insiden tersebut, kenyataannya adalah
seandainya semua pihak menyadari pentingnya kepatuhan terhadap hukum,
tentunya insiden itu tidak akan terjadi. Keragu-raguan aparat penegak hukum
(kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan) dalam menangani berbagai tindak
pidana korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara juga potensial untuk
menyulut huru-hara akibat kekecewaan masyarakat. Tidak adanya kesadaran
hukum, di samping aspek sosial-psikologis yang perlu diteliti lebih lanjut
dan dicarikan penyelesaiannya, juga menyebabkan sering timbulnya tawuran
antar warga atau tawuran antar pelajar yang pada gilirannya menimbulkan
keresahan masyarakat dan menyebabkan instabilitas keamanan lingkungan.
Maka, sosialisasi berbagai peraturan dan perundang-undangan serta penegakan
hukum yang tegas, adil dan tanpa pandang bulu adalah satu-satunya jalan
untuk mengatasi potensi konflik ini. Potensi ancaman dari dalam negeri ini
perlu mendapat perhatian yang serius mengingat instabilitas internal seringkali
mengundang campur tangan pihak asing, baik secara langsung maupun tidak langsung,
untuk kepentingan mereka.

Memudarnya Nasionalisme dan Kecintaan Pada Bangsa dan Tanah Air

Sebagai produk dari faktor politik, ekonomi, sosial dan intelektual
pada suatu tahapan sejarah, nasionalisme adalah "suatu kondisi pikiran,
perasaan atau keyakinan sekelompok manusia pada suatu wilayah geografis
tertentu, yang berbicara dalam bahasa yang sama, memiliki kesusasteraan yang
mencerminkan aspirasi bangsanya, terlekat pada adat dan tradisi bersama,
memuja pahlawan mereka sendiri dan dalam kasus-kasus tertentu menganut agama
yang sama"

Nasionalisme adalah produk langsung dari konsep bangsa. Ia merujuk
kepada perasaan "kasih sayang" pada satu sama lain yang dimiliki oleh
anggota bangsa itu dan rasa kebanggaan yang dimiliki oleh bangsa itu
sendiri. Dia adalah semangat kebersamaan yang bertujuan memelihara kesamaan
pandangan, kesamaan masyarakat dan kesamaan bangsa dalam suatu kelompok
orang-orang tertentu. Dia adalah suatu idelogi abstrak yang mengakui
kebutuhan akan suatu pengalaman bersama, kebudayaan bersama, dasar sejarah,
bahasa bersama dan lingkungan politik yang homogen. Nasionalisme dapat
diungkapkan dengan berbagai cara, misalnya keinginan untuk mencapai taraf
kehidupan yang tinggi, keinginan untuk memenangkan medali emas lebih banyak
dari negara lain dalam Olympiade, atau bahkan menundukkan wilayah lain yang
berbatasan.

Akhir-akhir ini ditengarai bahwa semangat nasionalisme dan
patriotisme, khususnya di kalangan generasi muda Indonesia telah memudar.
Beberapa indikasi antara lain adalah munculnya semangat kedaerahan seiring
dengan diberlakukannya otonomi daerah; ketidakpedulian terhadap bendera dan
lagu kebangsaan; kurangnya apresiasi terhadap kebudayaan dan kesenian
daerah; konflik antar etnis yang mengakibatkan pertumpahan darah.

Ketidak mampuan pemerintah pasca Orde Baru untuk mengatasi krisis
multidimensional sering dijadikan "kambing hitam" penyebab memudarnya
nasionalisme. Banyak orang yang tidak merasa bangga menjadi orang Indonesia
akibat citra buruk di dunia internasional sebagai "sarang koruptor" dan
"sarang teroris". Banyak orang yang enggan membela negara dengan alasan
"saya dapat dari negara?" Presiden John F. Kennedy dari Amerika Serikat
pernah mengatakan, "don't ask what your country can do for you, ask what can
you do for your country!" (jangan tanyakan apa yang dapat dilakukan oleh
negaramu untukmu, tapi tanyakan apa yang dapat kamu lakukan untuk negaramu!)

Semangat seperti itu seharusnya juga berlaku bagi semua warga negara
Indonesia. Ada semacam kekeliruan pandangan bahwa negara identik dengan
pemerintah. Setiap warga negara boleh saja tidak setuju dengan kebijakan
pemerintah, tapi dia tetap berhak dan wajib membela negaranya.

Memudarnya nasionalisme dan patriotisme mungkin juga disebabkan oleh
tiadanya penghayatan atas arti perjuangan para pahlawan kemerdekaan.
Perayaan hari Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus selama berpuluh tahun
terkesan hanya sebagai ritual upacara bendera yang membosankan. tradisi
"hura-hura" lomba makan krupuk dan panjat pinang, panggung hiburan yang
dari tahun ke tahun hanya diisi oleh vocal group remaja setempat di setiap
RT di seluruh tanah air dan gapura yang mencantumkan slogan-slogan kosong di
setiap ujung gang. Yang lebih memprihatinkan, di tengah krisis ekonomi yang
berlarut-larut ini, hari Kemerdekaan dirayakan dengan kembang api. Betapa
tidak nasionalis dan tidak patriotisnya, membakar uang puluhan juta rupiah
sementara sebagian besar rakyat tengah menderita. Sedikit sekali kelompok
masyarakat yang merayakan hari Kemerdekaan dengan acara syukuran dan do'a
bersama mengingat jasa para pahlawan yang telah mengorbankan nyawa mereka
untuk mencapai kemerdekaan ini.

Demikian pula Sumpah Pemuda, yang sebenarnya adalah modal awal
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia jauh sebelum kemerdekaan, kini
seolah hanya merupakan pelajaran sejarah yang tidak pernah dihayati dan
diamalkan. Munculnya gerakan separatisme dan konflik antar etnis membuktikan
tidak adanya kesadaran bahwa kita adalah satu tanah air, satu bangsa, dan
satu bahasa. Harus diakui bahwa ada faktor-faktor politis, ekonomi dan
psikologis yang menyebabkan gerakan-gerakan separatis maupun konflik antar
etnis itu, misalnya masalah ketidak adilan sosial dan ekonomi, persaingan
antar kelompok dan sebagainya. Kurang tanggapnya pemerintah baik di pusat
maupun daerah untuk mengantisipasi atau segera menangani berbagai
permasalahan itu menyebabkan tereskalasinya suatu masalah kecil menjadi
konflik yang berkepanjangan.

Bela Negara Sebagai Hak dan Kewajiban Warga Negara
Konsep Bela Negara
Pasal 30 UUD 1945 menyebutkan bahwa "tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara". Konsep Bela Negara dapat
diuraikan yaitu secara fisik maupun non-fisik. Secara fisik yaitu dengan
cara "memanggul bedil" menghadapi serangan atau agresi musuh. Bela Negara
secara fisik dilakukan untuk menghadapi ancaman dari luar. Sedangkan Bela
Negara secara non-fisik dapat didefinisikan sebagai "segala upaya untuk
mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia dengan cara meningkatkan
kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap tanah air
serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara".

Bela Negara Secara Fisik
Keterlibatan warga negara sipil dalam upaya pertahanan negara merupakan
hak dan kewajiban konstitusional setiap warga negara Republik Indonesia.
Tapi, seperti diatur dalam UU no 3 tahun 2002 dan sesuai dengan doktrin
Sistem Pertahanan Semesta, maka pelaksanaannya dilakukan oleh Rakyat
Terlatih (Ratih) yang terdiri dari berbagai unsur misalnya Resimen
Mahasiswa, Perlawanan Rakyat, Pertahanan Sipil, Mitra Babinsa, OKP yang
telah mengikuti Pendidikan Dasar Militer dan lainnya. Rakyat Terlatih
mempunyai empat fungsi yaitu Ketertiban Umum, Perlindungan Masyarakat,
Keamanan Rakyat dan Perlawanan Rakyat. Tiga fungsi yang disebut pertama
umumnya dilakukan pada masa damai atau pada saat terjadinya bencana alam
atau darurat sipil, di mana unsur-unsur Rakyat Terlatih membantu pemerintah
daerah dalam menangani Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, sementara fungsi
Perlawanan Rakyat dilakukan dalam keadaan darurat perang di mana Rakyat
Terlatih merupakan unsur bantuan tempur bagi pasukan reguler TNI dan
terlibat langsung di medan perang.

Apabila keadaan ekonomi nasional telah pulih dan keuangan negara
memungkinkan, maka dapat pula dipertimbangkan kemungkinan untuk mengadakan
Wajib Militer bagi warga negara yang memenuhi syarat seperti yang dilakukan di
banyak negara maju di Barat. Mereka yang telah mengikuti pendidikan
dasar militer akan dijadikan Cadangan Tentara Nasional Indonesia selama
waktu tertentu, dengan masa dinas misalnya sebulan dalam setahun untuk
mengikuti latihan atau kursus-kursus penyegaran. Dalam keadaan darurat
perang, mereka dapat dimobilisasi dalam waktu singkat untuk tugas-tugas
tempur maupun tugas-tugas teritorial. Rekrutmen dilakukan secara selektif,
teratur dan berkesinambungan. Penempatan tugas dapat disesuaikan dengan
latar belakang pendidikan atau profesi mereka dalam kehidupan sipil misalnya
dokter ditempatkan di Rumah Sakit Tentara, pengacara di Dinas Hukum, akuntan
di Bagian Keuangan, penerbang di Skwadron Angkutan, dan sebagainya. Gagasan
ini bukanlah dimaksudkan sebagai upaya militerisasi masyarakat sipil, tapi
memperkenalkan "dwi-fungsi sipil". Maksudnya sebagai upaya sosialisasi
"konsep bela negara" di mana tugas pertahanan keamanan negara bukanlah
semata-mata tanggung jawab TNI, tapi adalah hak dan kewajiban seluruh warga
negara Republik Indonesia.

Bela Negara Secara Non-Fisik
Di masa transisi menuju masyarakat madani sesuai tuntutan reformasi
saat ini, justru kesadaran bela negara ini perlu ditanamkan guna menangkal
berbagai potensi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik dari luar
maupun dari dalam seperti yang telah diuraikan di atas. Sebagaimana telah
diungkapkan sebelumnya, bela negara tidak selalu harus berarti "memanggul
bedil menghadapi musuh". Keterlibatan warga negara sipil dalam bela negara
secara non-fisik dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, sepanjang masa dan
dalam segala situasi, misalnya dengan cara:
a. meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, termasuk menghayati arti
demokrasi dengan menghargai perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak
b. menanamkan kecintaan terhadap tanah air, melalui pengabdian yang tulus
kepada masyarakat
c. berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara dengan berkarya nyata (bukan retorika)
d. meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum/undang-undang
dan menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia
e. pembekalan mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat menangkal
pengaruh-pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan
bangsa Indonesia dengan lebih bertaqwa kepada Allah swt melalui ibadah sesuai agama/kepercayaan masing-masing

Apabila seluruh komponen bangsa berpartisipasi aktif dalam melakukan
bela negara secara non-fisik ini, maka berbagai potensi konflik yang pada
gilirannya merupakan ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan bagi keamanan
negara dan bangsa kiranya akan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali.
Kegiatan bela negara secara non-fisik sebagai upaya peningkatan

Ketahanan Nasional juga sangat penting untuk menangkal pengaruh budaya
asing di era globalisasi abad ke 21 di mana arus informasi (atau
disinformasi) dan propaganda dari luar akan sulit dibendung akibat semakin
canggihnya teknologi komunikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar